BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Epilepsy adalah gangguan umum dan sering
terjadi. Lebih dari 40 bentuk epilepsy telah diidentifikasi. Bangkitan
epileptic sering menyebabkan kerusakan kesadaran, meningkatan resiko
membahayakan diri sendiri, dan sering mengganggu pendidikan dan pekerjaan. Kata
epilepsy memiliki implikasi yang banyak bagi individu dan social. (Goodman,
Penyebab bangkitan banyak diketahui dan
termasuk jangkauan luas dari penyakit neurologis – dari infeksi hingga neoplasma
dan cedera kepala. Pada beberapa kelompok, hereditas menjadi factor
predominant. (Katzung,
Oleh karena itu, praktikum ini dilakukan
untuk dapat mengenal dan memahami tentang obat-obat yang dapat digunakan
sebagai anticonvulsant.
1.2
Tujuan
Tujuan dari praktikum kali ini adalah
untuk memahami efek antikonvulsan dalam mencegah dan menyembuhkan kejang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Terminology
konvulsi dan bangkitan sering digunakan dipertukarkan dan secara dasar memiliki
arti yang sama. Bangkitan dapat didefinisikan sebagai serangan periodic dari
gangguan fungsi cerebral. Bangkitan juga dideskripsikan oleh gangguan abnormal
aktivitas elektrik pada satu atau lebih area otak. Bangkitan dapat
diklasifikasikan sebagai parsial (fokal) atau generalisata. Setiap tipe
gangguan bangkitan dikarakteristik oleh pola spesifik, di samping pola berbeda
manifestasi motorik atau sensorik. (Edmunds, 2009)
Epilepsy
adalah masalah kesehatan umum. Seizure adalah suatu aspek epilepsy. Pasien
dengan epilepsy mungkin mengalami masalah kognitif dan perilaku yang memiliki
dampak penolakan pada kehidupannya. Komorbiditas kognitif terkait dengan
epilepsy telah dikonfirmasi pada studi klinik, eksperimental, patologi, psikologi,
fisiologi dan imaging. Pasien dengan epilepsy mengalami masalah kognitif yang
bervariasi seperti penurunan inteligensia, perhatian, masalah pada memory,
bahasa dan fungsi eksekutif frontalis, tergantung lokasi lesi. (Shehata, 2009)
Epilepsy
adalah gangguan neurologis kronik yang khas karena seizure berulang. Terdapat
tipe epilepsy berbeda dan tidak bergantung pada 1 mekanisme yang menyertai tapi
multifactor. Epilepsy biasanya dikontrol tapi tidak sembuh dengan pengobatan
walau demikian lebih 30% orang dengan epilepsy tidak memiliki control seizure
bahkan dengan pengobatan terbaik yang ada. (Husain, 2012)
Obat
antiseizure ideal dapat mensupresi semua seizure tanpa menyebabkan efek yang
tidak diinginkan. Sayangnya, obat yang digunakan sekarang tidak hanya gagal
untuk mengontrol aktivitas seizure pada pasien, tapi sering menyebabkan efek
yang tidak diinginkan pada rentang keparahan dari kerusakan minimal system
saraf pusat hingga kematian karena anemia aplastik atau gagal hepar. Untuk
meminimalkan toksisitas, pengobatan monoterapi dianjurkan. Jika seizure tidak
terkontrol dengan agent awal pada konsentrasi plasma yang adekuat, penggantian
obat kedua dianjurkan untuk pemberian obat stimultan dari agent lainnya. (Brunton
L, 2006)
Obat
antiepileptic secara structural dibagi dalam komponen kelas berbeda. Elemen
structural paling umum dari generasi 1 obat antiepileptic, derivate dari
hydantoin, oxazolidinediones, suksimid, dan glutarimid, dapat didefinisikan
sebagai nitrogen yang mengandung system heteroatomik dengan 1 atau 2 cincin
phenyl dan setidaknya 1 kelompok carbonyl. (Husain, 2012)
Obat-obat
antikonvulsan ini dapat dibagi dalam beberapa kelompok kimiawi, yaitu :
1. Obat generasi pertama
- Barbital :fenobarbital dan mefobarbital
memiliki sifat antikonvulsan khusus yang terlepas dari sifat hipnotiknya. Yang
digunakan terutama senyawa kerja panjang untuk memberikan jaminan yang lebih
kontinu terhadap serangan grand mal.
- Fenitoin. Struktur kimia obat ini mirip
barbital, tetapi dengan cincin-lima hidantoin. Senyawa hidantoin ini terutama
digunakan pada grand mal.
Phenytoin memaksa aktivitas antiseizure tanpa menyebabkan
depresi umum dari system saraf pusat. Pada dosis toxic, hal ini memproduksi
tanda gelisah dan rigiditas. Efek signifikan terbanyak dari phenytoin adalah
kemampuannya untuk mengubah pola electroshock seizure maksimum. Phenytoin
adalah satu dari banyak obat yang digunakan secara luas sebagai agent
antiseizure, phenytoin efektif melawan semua tipe seizure partial dan
tonic-klonic tapi tidak untuk seizure absence. (Brunton, L, 2006)
- Suksinimida :ethosuksimida dan mesuksimida.
Senyawa ini memiliki kesamaan dalam susunan gugus cincinnya dengan fenitoin.
Terutama digunakan pada petit mal.
- Lainnya : asam valproate, diazepam dan
klonazepam, karbamazepin, dan okskarbazepin.
2. Obat generasi kedua : vigabatrinm
lamotrigin dan gabapentin (Neurontin), juga felbamat, topiramat dan pregabalin.
Obat-obatan ini umumnya tidak digunakan tunggal sebagai monoterapi, melaikan
kombinasi dengan obat-obat klasik (generasi ke-1). Keberatan obat-obat yang
agak baru ini adalah masih relative singkat dibandingkan dengan obat-obat
generasi pertama, yang sudah membuktikan keampuhan dan keamanannya (Tjay Hoan
Tan. 2007)
Pada
prinsipnya, obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses inisiasi dan
penyebaran kejang. Namun, umumnya obat antiepilepsi lebih cenderung bersifat
membatasi proses penyebaran kejang dari pada mencegah proses inisiasi. Dengan
demikian secara umum ada dua mekanisme kerja yakni : peningkatan inhibisi
(GABA-ergik ) dan penurunan eksitasi yang kemudian memodifikasi konduksi ion :
Na+ , Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmitor, meliputi :
1. Inhibisi
kanal Na+ pada membran sel akson.
Contoh
: fenitoin dan karbamazepin ( pada dosis terapi ), fenobarbital dan asam
valproat ( dosis tinggi ), lomotrogin, topiramat, zonisamid.
2. Inhibisi
kanal Ca2+ tipe T pada neuron talamus ( yang berperan sebagai pace-maker untuk membangkitkan cetusan
listrik umum dikorteks )
Contoh
: etosuksimid, asam valproat, dan clonazepam.
3. Peningkatan
inhibisi GABA
a. Langsung
pada kompleks GABA dan kompleks Cl-
Contoh
: benzodiazepin, barbiturat.
b. Menghambat
degradasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi reuptake dan metabolisme GABA.
Contoh
: tiagabin, vigabatrin, asam valproat, gabapentin.
4. Penurunan
eksitasi glutamat, yakni melalui:
a. Blok
reseptor NMDA, misal lamotrigin
b. Blok
reseptor AMPA, misal fenobarbital, topiramat.
(Gunawan,
2009)
BAB III
METODE PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan
a. Alat
-
Disposable syringe
-
Stopwatch
-
Kurungan mencit
b. Bahan
-
Saline
-
Diazepam (injeksi)
-
Strychnine (injeksi) 0,05%
3.2 Subjek
Mencit sehat yang berat badannya telah
ditimbang.
3.3 Prosedur
1. Perlakukan
hewan coba dengan baik dan amati aktivitas motoriknya sebelum diberikan salah
satu obat.
2. Setiap
kelompok mahasiswa bekerja dengan 4 hewan coba. Bagi hewan coba kedalam 2
kelompok untuk percobaan preventif dan kuratif. Tandai hewan coba yang diberikan
antikonvulsan atau saline sebelum atau sesudah injeksi stimulant SNC.
Nomor Hewan
|
Penanda
|
Perlakuan
|
Kelompok Preventif
|
Kelompok Kuratif
|
1
|
Tanpa
tanda
|
Saline
|
|
2
|
Pada
kepala
|
Diazepam
0,05 mL/25 gr BB
|
|
3
|
Pada
punggung atas
|
|
Saline
|
4
|
Pada
punggung bawah
|
|
Diazepam
0,05 mL/25 gr BB
|
a. Untuk
eksperimen preventive
1. Berikan
mencit obat berikut ini, saline atau
diazepam intramuscular. 15 menit setelahnya berikan SNC stimulant (0,2 mL/25gr
BB strychnine) intraperitoneal.
2. Kumpulkan
data onset dan durasi konvulsi yang terjadi pada setiap hewan coba.
3. Bandingkan
data antara saline dan antikonvulsan (diazepam).
b. Untuk eksperimen kuratif
1. Berikan
0,2 mL/25gr BB strychnine intraperitoneal. Setelah konvulsi terjadi, berikan
hewan coba saline atau diazepam intramuscular.
2. Kumpulkan
data onset efek antikonvulsi.
3. Bandingkan
data antara saline dan antikonvulsan (diazepam).
BAB IV
HASIL PERCOBAAN
Tabel
1 . Onset dan durasi efek konvulsi pada kelompok preventif
No
|
Kelompok
Saline
|
Kelompok
Diazepam
|
Onset
(menit)
|
Durasi
(menit)
|
Onset
(menit)
|
Durasi
(menit)
|
1
|
01.20
|
00.20
|
05.45
|
30.30
|
Tabel
2. Onset efek antikonvulsan pada kelompok kuratif
No
|
Onset (menit)
|
Saline
|
Diazepam
|
1
|
00.00
|
03.00
|
Tabel
3. Dosis Obat yang digunakan dalam praktikum
Preventif
|
Saline : 21,6/25 X 0,05 = 0,0432
ml
|
Strichnine : 21,6/25 X 0,2 =
0,1728 ml
|
Diazepam : 21,7/25 X 0,05 =
0,0434 ml
|
Strichnine : 21,7/25 X 0,2 =
0,1736 ml
|
Kuratif
|
Saline : 19,7 / 25 X 0,05 =
0,0394 ml
|
Strichnine : 19,7/25 X 0,2 =
0,1576 ml
|
Diazepam : 29,4/25 X 0,05 =
0,0588 ml
|
Strichnine : 29,4/25 X 0,2 =
0,2352 ml
|
BAB V
PEMBAHASAN
Dalam
praktikum farmakologi ini kami akan melakukan, uji preventif dan kuratif obat-obat
antikonvulsan terhadap mencit dengan
menggunakan diazepam dan saline.
Dalam
uji preventif antikonvulsan dilakukan penyuntikan saline dan diazepam terlebih
dahulu yang diikuti penyuntikan strichnine sebagai stimulus kejang. Pada mencit
yang disuntikan saline secara
intramuskular dibiarkan selama 15 menit
kemudian disuntikan strichnine didapatkan onset kejang (dari waktu
penyuntikan sampai muncul kejang ) 1 menit 20 detik dan durasi kejang ( dari
mulai kejang sampai berhenti ) 20 detik dan mencitnya mati. pada mecit yang
disuntkan diazepam secara intraperitoneal
dibiarkan selama 15 menit
kemudian disuntikan strichnine didapatkan onset kejang 5 menit 45 detik
dan durasi kejang 30 menit 30 detik,
kemudian mencit kembali keadaan normal. Hasil yang didapat telah sesuai teori,
dimana Saline tidak memiliki efek preventif dibuktikan dengan matinya mencit,
sedangkan untuk diazepam terbukti memiliki efek preventif dilihat dari muncul
kejangnya yang lambat tetapi dengan durasi kejang yang panjang.
Dalam
uji kuratif antikonvulsan dilakukan penyuntikan strichnine (secara
intraperitonal) sebagai stimulus kejang dan diikuti penyuntikan saline dan
diazepam. pada mencit yang kejang akibat pemberian strichnine, kemudian
langsung disuntikan saline secara intramuskular. onset antikejang yang
didapatkan saline tidak berefek karena penyuntikan mencit tetap kejang kemudian
mati. sedangkan pada mencit yang
disuntikan diazepam didapatkan onset antikejang 3 menit, kemudian mencit sedasi
dan tertidur. Hasil yang didapatkan telah sesuai teori karena onset terapi
diazepam untuk antikejang adalah 30-40 menit sedangkan saline tidak memiliki
efek kuratif pada mencit .
Mekanisme
kerja diazepam adalah berikatan dengan molekul reseptor GABAA di
membran neuron sistem saraf pusat. Reseptor ni berfungsi sebagai kanal ion
klorida, diaktifkan oleh neurotransmiter GABA yang bersifat menghambat sistem
saraf pusat.
Diazepam
diabsorpsi dengan baik,terdistribusi secara luas , sangat dimetabolisme ,dan
bnyak menghasilkan metabolit aktif. Diazepam terdistribusi secara cepat dan
luas kedalam jaringan, dengan volume distribusi antara 1 L/Kg dan 3 L/Kg dan
waktu paruhnya 20-40 jam.
Diazepam
bermanfaat untuk terapi bangkitan parsial sederhana misalnya bangkitan klonik
fokal dan hipsaritmia yang refrakter terhadap terapi lazim. Diazepam dapat efektif
pada bangkitan lena karena menekan 3 gelombang paku dan ombak yang terjadi
dalam satu detik.Untuk mengatasi bangkitan status epileptikus,disuntikkan 5-20
mg diazepam IV secara lambat.
Dosis
ini dapat diulang seperlunya dengan tenggang waktu 15-20 menit sampai beberapa
jam. Diazepam
dapat mengendalikan 80-90% pasien bangkitan rekuren. Pemberian per rektal
dengan dosis 0,5 mg atau 1 mg/kg BB diazepam untuk bayi dan anak dibawah 11
tahun dapat menghasilkan kadar 500 µg/ml dalam waktu 2-6 menit untuk anak yang
lebih besar dan dewasa pemberian rektal tidak bermanfaat untuk mengatasi
keadaan kejang akut karena kadar puncak lambat tercapai dan kadar plasmanya
rendah.
Kadar
stabil tercapai : 1-4 jam
Waktu Paruh :
- Dewasa : 24-48
-
Anak
: 43 ± 13
Diazepan
terutama untuk digunakan sebagai terapi konvulsi rekuren misalnya status
epileptikus. Obat
ini juga bermanfaat untuk terapi bangkitan parsial sederhana misalnya bangkitan
klonik fokal dan hipsaritmia yang refrakter terhadap terapi lazim.
Kontra
indikasi dari penggunaan diazepam, antara lain:
-
Hypersensitivitas
-
Pasien Coma
-
Depresi SSP sebelumnya
-
Glaukoma
-
Laktasi dan
kehamilan,dll
Efek
toksik dari diasepam bisa sampai berat dan bahaya : Obstruksi saluran napas
oleh lidah, depresi
napas, henti
napas, hipotensi, henti jantung.
Interaksi
pengunaan diazepam memungkinkan peningkatan efek pada
obat-obat penekan SSP lain dan alkohol. Eliminasi di hambat oleh cimetidin, dizulfiram, dan kontrasepsi oral. Eliminasi dipercepat
oleh rivampicin dan obat penginduksi enzim lainnya.
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
dari hasil praktikum, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Diazepam
merupakan obat antikonvulsan yang dapat mencegah dan mengobati kejang
2. Pada
kelompok preventif, diazepam terbukti efektif dalam mencegah terjadinya kejang
dibandingkan dengan saline yang tidak memiliki antikonvulsan yang ditandai
dengan onset diazepam lebih lama dibandingkan onset salin dan durasi diazepam
lebih cepat dibandingkan durasi saline.
3. Pada
kelompok kuratif, diazepam terbukti efektif dalam mengobati kejang yang
ditandai dengan onset diazepam lebih cepat dalam meredakan kejang dibandingkan
onset saline.
4. Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil dalam percobaan ini adalah waktu pemberian obat, dosis
obat dan teknik injeksi yang dilakukan.
6.2 Saran
Sebaiknya alat-alat seperti disposable
syringe dan stopwatch dapat ditambah jumlahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Brunton L, et al, 2006, Goodman and Gilman’s The Pharmacological
Basis of Therapeutics eleventh edition,
Edmunds, M, 2009, Introduction to Clinical Pharmacology 7th edition, Elsevier
Mosby, New York.
Gunawan S, 2009, Farmakologi dan Terapi FKUI Edisi 5, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Husain A, et al, 2012, Indole Derivatives with Anticonvulsant
Activity Against Two Seizure Model, Pharmacophore Journal, vol. 3 (1), pp.
55-61.
Shehata G, et al, 2009, Neuropsychological Effects of Antiepileptic
Drugs (Carbamazepine versus Valproate) in Adult Males with Epilepsy, Neuropsychiatric
Disease and Treatment, vol.5, pp. 527-533.
Tjay Hoan Tan, 2007, Obat-Obatan Penting, Elex Media Komputindo,
Jakarta.